Salah satu metode yang dapat digunakan untuk mengembangkan keterampilan berpikir tingkat tinggi, utamanya terkait berpikir kritis (critical thinking skill) dan pemecahan masalah (problem solving) adalah metode MLE (Mediated Learning Experience) atau dalam bahasa Indonesia dikenal dengan istilah pembelajaran termediasi.
MLE (Mediated Learning Experience) atau pembelajaran termediasi adalah sebuah metode pembelajaran yang dikembangkan oleh seorang ahli psikologi pembelajaran yang bernama Reuven Feuerstein. Pembelajaran termediasi adalah salah satu metode pembelajaran yang berakar pada konstruktivisme belajar. Menurut teori pembelajaran konstruktivisme, setiap siswa harus menemukan dan mengubah informasi yang rumit, dengan memeriksa aturan baru dan membandingkannya dengan aturan lama yang tersimpan dalam struktur kognitifnya, dan mengubah suatu aturan (baik baru atau lama) jika aturan tersebut tidak lagi berguna.
Dalam pembelajaran termediasi, guru berperan sebagai seorang mediator, bukan selayaknya guru tradisional. Metode pembelajaran termediasi merupakan suatu model interaksi sistemik antara pembelajar dengan sang mediatornya. Seorang mediator (dalam hal ini guru) harus dapat menempatkan dirinya dengan tepat antara pembelajar dengan stimulus belajar yang diberikan, serta antara pembelajar dengan respons yang diberikan pembelajar.
Melalui proses mediasi yang dilakukan oleh guru, maka struktur kognirif siswa akan terdampak. Pembelajaran dengan metode termediasi berbeda dengan pembelajaran tradisional karena pada pembelajaran tradisional guru lebih berfokus pada pemecahan masalah (problem solving) pada suatu topik pembelajaran tertentu. Pada pembelajaran termediasi guru lebih berfokus pada bagaimana cara agar siswa dapat memecahkan masalah. Dengan demikian, seorang guru yang berperan sebagai mediator yang baik akan dapat meningkatkan keterampilan berpikir tingkat tinggi siswa seperti berpikir kritis dan pemecahan masalah.
Hal yang menarik dari pengembang metode pembelajaran termediasi (mediated learning experience- MLE) ini adalah bahwa Feuerstein yakin bahwa kecerdasan seseorang dapat ditingkatkan (diubah). Menurut Reuven Feuerstein, tidak ada kondisi atau predisposisi genetis yang menghalangi seseorang dalam berpikir atau belajar.
Feuerstein adalah orang yang pertama kali mengembangkan program-program dan penelitian-penelitian untuk menyokong keyakinannya bahwa kecerdasan seseorang dapat dimodifikasi (diubah), dan kini hasil kerjanya telah banyak digunakan dan divalidasi di berbagai negara.
Menurut Feuerstein yang dilandaskan pada teori Structural Cognitive Modifiability (Struktur Kognitif yang Dapat Diubah), menunjukkan bahwa setiap orang
- mampu dan adaptabel untuk belajar lebih tinggi
- modifikasi kognitif berlangsung karena pembelajaran termediasi (mediated learning experience)
- mampu untuk mengaplikasikan pertumbuhan kognitif yang telah ditargetkan sehingga memungkinkan untuk dari aspek akademik, sosial, dan peningkatan perkembangan.
Baca Juga:
Masa Magang Kognitif (Cognitive Apprenticeship)
ZPD (Zone of Proximal Development) - Zona Perkembangan Proksimal
Implikasi Perkembangan Peserta Didik dalam Pendidikan dan Pembelajaran
No comments :
Post a Comment
Terima kasih telah berkomentar di http://novehasanah.blogspot.com
Komentar anda adalah apresiasi bagi kami, karena itu berkomentarlah dengan sopan.
Mohon untuk tidak meninggalkan link aktif pada kolom komentar.